Pusat Tak Bisa Batalkan Perda, Paket Ekonomi Jokowi Akan Terhambat

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) memperkirakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah (perda), mau mengganggu paket kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo.
Jokowi sejak September 2015 tenggat kini telah mengeluarkan 15 paket kebijakan ekonomi, yang berupa rangkaian penyederhanaan regulasi serta mempermudah birokrasi demi meningkatkan daya saing inkubustri. "Semangat paket kebijakan ekonomi presiden mengenai deregulasi dan debirokratisasi berpotensi terganjal perda penghambat investasi yang sulit kepada dicabut atau direvisi," kata peneliti KPPOD, M Yudha Prawira, saat konferensi pers antara kantor Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Selasa (20/6).
(Baca: Daftar Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi Jilid XV)
MK mencabut kewenangan pemerintah pusat, tingkat provinsi maupun kabupaten untuk membatalkan perda lewat dua putusan. MK mengabulkan uji materi Nomor 56/PUU-XIV/2016 pada 14 Juni terus. Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 251 Ayat 1, 2, 7 dan 8 UU Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, semaka menteri dalam negeri dan gubernur tidak lagi bisa mencabut perda provinsi.
Sebelumnya MK pun mengabulkan permohonan Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang diterbitkan di 5 April 2017 lalu. Dalam putusan ini, kewenangan kabupaten/kota jauh didalam mencabut perda dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
(Baca: MK Cabut Kewenangan Mendagri, Pengusaha Minta Dilibatkan Bahas Perda)
Selain mau menghambat paket kebijakan ekonomi Jokowi, Yudha mengatakan ada tiga dampak lain atas putusan MK ini. Pertama, menghapus peran pengawasan pusat atas perda nan sebelumnya dijalankan kementerian terdalam negeri menyertai gubernur. “Pascaputusan MK, pemerintah pusat cuma menyandang peran pengawasan preventif terdalam bentuk evaluasi rancangan perda menyertai pembatalannya,” kata Yudha.
Kedua, sistem check and balances yang terhapus dalam pengawasan perda. Sebelumnya, pemerintah pusat bisa mengupayakan sinkronisasi kebijakan pusat dekat daerah secara cepat melalui pembatalan perda penghambat investasi.
Ketiga, putusan ini menempatkan masyarakat, kelompok, maka sektor privat bak pihak yang secara vis-à-vis berhadapan dengan pemda. "Kewenangan pemerintah pusat yang dianulir memungkinkan kondisi ini terjadi," kata dia.
(Baca: Tak Bisa Lagi Cabut Perda, Jokowi Tetap Dorong Deregulasi)
Lebih lanjut, Yudha mengatakan, kewenangan executive review atas pembatalan perda sebetulnya sudah ada sejak era Otonomi Daerah, sejak diberlakukan UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. “Karena dalam konteks negara kesatuan, kewenangan itu masih istimewa diselenggarakan oleh pemerintah pusat untuk menjaga koherensi regulasi bersama menjaga ketertiban global,” ujarnya.
Sementara itu Direktur Eksekutif DPN Apindo P Agung Pambudhi, mengajak peran serta masyarakat, asosiasi, dan sektor swasta menginisiasi pembatalan perda yang bermacela dan berperan aktif ekstra dalam pembahasan rancangan perda.
Agung juga berharap Kemendagri memperawet fungsi pengawasan atas rancangan perda sebagai upaya preventif. Tindakan serupa juga perlu dilakukan kepada peraturan kepala daerah tidak emosi provinsi, kabupaten atau kota agar regulasi tidak bertentangan lewat aturan yang lebih banter.